Rabu, 24 Oktober 2007

Antara Dugderan dan menyambut puasa.

L I L I P U T Si Dul edisi 34
Antara Dugderan dan menyambut puasa.
Bulan puasa sebentar lagi tiba. Adik adik pembaca, sudah siap belum ? maksudnya siap untuk menyambut dan menunaikan ibadah puasa. Ibadah yang satu ini wajib dikerjakan bagi setiap orang yang beriman lho.
Dikota Semarang, biasanya jika mnjelang datangnya bulan puasa ada satu tradisi yang sudah lama turun temurun, yaitu Dugderan. Bagi pembaca Si Dul yang tinggal di Semarang dan sekitarnya pasti tahu bahkan pernah mengunjungi. Lalu, apa to dugderan itu ?

Pada zaman dahulu, Dahulu kala kaum muslimin dan muslimat menentukan hari mulainya puasa berbeda-beda antara faham yang satu dengan faham yang lain. Perbedaan pendapat ini membuat masyarakat lainnya agak bingung harus ikut yang mana. Hal ini menjadi perhatian serius dari pemerintah pada waktu itu, sehingga Bapak Bupati Semarang RMTA Purbaningrat pada tahun 1891 memberanikan diri untuk menentukan mulainya hari puasa setelah melalui berbagai petimbangan dengan para tokoh dan ulama. Setelah disepakati, sebagai tanda bahwa esok hari dimulai menjalankan puasa, dibunyikanlah bedhug di Masjid Besar Semarang dan meriam sebanyak tiga kali di halaman Kanjengan (Kantor Bupati, yang sekarang menjadi pertokoan dan bioskop Kanjengan Teater atau tepatnya dibelakang pasar johar).

Sejak saat itulah, setiap tahunnya selalu diadakan upacara penyambutan bulan Ramadhan yang dimulai sehabis salat Asar. Acara ini semakin tahun semakin meriah karena dikuti para punggawa dan pengawal kabupaten dengan diiringi musik gamelan. Begitu pidato pemimpin upacara selesai, maka dibunyikanlah bedug dan disusul penyulutan meriam oleh mantri polisi. Karena suara bedug yang disusul dengan suara meriam terjadilah bunyi “dug-dug der-der ! “, lalu masyarakat menamakannya “Dug-der” hingga sampai sekarang.

Karena upacara ini selalu ditonton oleh masyarakat banyak, maka tidak mengherankan jika dilokasi tersebut bermunculan para penjual tiban, mulai dari makanan, minuman, mainan anak anak hingga berbagai pertunjukan rakyat. Maka sampai sekarang bisa dilihat para penjual meluber hingga jauh dari lokasi masjid Kauman. Adapun salah satu ciri khas mainan dugderan hingga kini masih ada yaitu “warak nggendok” sejenis hewan campuran budaya jawa, cina dan arab. Warak ini menjadi symbol persatuan dari berbagai etnis di Semarang, mengingat kota yang didirikan Ki Ageng Pandanaran ini terdiri dari berbagai etnis.

Perayaan tradisi Dugderan ini sampai sekarang masih dilestarikan, tidak hanya dipusatkan di sekitar bekas Alun-alun Masjid Besar Kauman tetapi sudah menyebarluas ke sepanjang jalan Pemuda dan halaman Balaikota Semarang dan dimeriahkan oleh arak-arakan karnaval dugderan yang diikuti oleh perwakilan aktifis Islam dari seluruh kecamatan sekota Semarang. Sayang saat ini untuk para pedagang dugder dipusatkan di Polder Tawang untuk kelancaran lalu lintas, meskipun pelaksanaannya sama yaitu satu hari sebelum puasa Ramadhan dan dengan tata upacara yang hampir sama dengan bentuk aslinya.

Adik adik pasti ingin sekali melihat tradisi ini ya. Meskipun setiap tahunnya selalu ada, tapi rasanya belum puas jika belum mengunjungi, bahkan ada pepatah Semarangan mengatakan “Jangan mengaku orang Semarang jika belum melihat dugderan.”

Meramaikan dugderan dan menyambut datangnya bulan Ramadhan itu boleh boleh saja. Tapi harus diingat…tujuan kita sebenarnya bukan pada penyambutan atau kemeriahan tradisi dugderannya. Tapi justru yang lebih penting yaitu bagaimana kita menjalankan puasa dengan benar dalam arti bukan puasa hanya menahan lapar dahaga saja, tapi juga menahan segala hawa nafsu. Disinilah perlunya kita “menata diri” agar nanti selepas Ramadhan, kembali “fitrah”. Berhasil atau tidaknya puasa kita sebenarnya kita sendiri yang dapat menilai. Jika amal ibadah kita mengalami kemajuan dari sebelum Ramadhan insya Allah puasa kita diterima Allah Swt.
Naah ….bagaimaman adik adik sudah siap ? (Haidar)

Tidak ada komentar: